Oleh: Adib Hidayat
Jakarta - Ringback tone
(RBT) yang menjadi penyelamat sebagian pihak di industri musik Indonesia mulai
mengalami penurunan drastis! Kasus pencurian pulsa dari SMS premium membuat
pihak Menkominfo dan BRTI (Badan Regulasi Teknologi Indonesia) melakukan
pengaturan ulang untuk menertibkan beberapa layanan ponsel berlangganan
termasuk RBT. Hal tersebut dilakukan mulai 18 Oktober 2011.
Beberapa pihak seperti perusahaan rekaman dan beberapa artisnya meradang! Mereka langsung menggelar jumpa pers dengan membuat gerakan Selamatkan Musik Indonesia #SaveRBT. Bertempat di Hard Rock Cafe, EX Plaza, Jakarta Pusat (17/10/2011), mereka meminta agar pemerintah tidak memberhentikan la-yanan RBT meskipun hanya sementara.
Menurut para pelaku industri musik, penonaktifan RBT tersebut membawa dampak berkurangnya pendapatan musisi atau pencipta lagu. Kepada Rolling Stone Indonesia beberapa musisi berkomentar, “RBT itu bukan hal yang haram. Kami berharap adanya keadilan. Memang katanya untuk menyelamatkan bagian masyarakat lain. Tapi itu tak ada kaitannya dengan RBT,” ujar vokalis band Ungu, Pasha. “Kalau mau ditutup saya mau teriak. Jangan cuma kita diminta bayar pajak. Masa sih nggak adil,” tandas Maia Estianty. “Masih banyak hal untuk dibahas dan diberantas,” jelas keyboardist band Kerispatih, Badai.
Namun lewat akun Twitter pribadinya, Menteri Kominfo Tifatul Sembiring langsung memberi bantahan soal penutupan RBT tersebut. Malah dirinya berjanji akan meneruskan layanan RBT yang baik dan benar. Berikut lima hal yang disampaikan Tifatul Sembiring yang ditulis tanpa edit:
1. Saya tegaskan TIDAK ADA penghapusan layanan RBT. Tapi semua pelanggan YG MAU RBT harus register ulang. Yang TIDAK MAU, tdk boleh dipaksa.
2. Jadi sistem POTONG PULSA otomatis ditiadakan. Sebab pengguna hp tidak tahu mengapa pulsanya dipotong. Hrs ditawarkan ulang mrk mau/tidak
3. Bagi penyedia jasa RBT yg baik2, tentu dibutuhkan pengguna hp dan mrk akan daftar ulang dg KESADARAN. Jadi hal ini seperti reset ulang sj.
4. Semua cp harus memudahkan proses UNREG, dan pelanggan hrs mengerti betul semua resikonya jika melakukan REG.
5. Pemotongan pulsa tanpa seizin/sepengetahuan pemilik hp adalah PENCURIAN, akan sgr diusut pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum.
Jika melihat penjelasan dari Tifatul Sembiring di atas, persoalan penertiban tentang layanan konten SMS Premium tersebut jelas menguntungkan konsumen.
Mafia SMS Premium yang menyedot pulsa pelanggan menjadi persoalan serius ketika proses pencurian pulsa ini berlangsung secara massal. Bayangkan berapa juta penduduk Indonesia yang terkena korban akibat pulsa mereka menguap begitu saja.
Dalam siaran pers, pihak label yang tergabung dalam ASIRI menulis: “RBT sebagai penyelamat musik Indonesia karena inovasi teknologi layanan ini yang tidak dapat dibajak, dapat dinikmati oleh konsumen, harganya terjangkau, mudah dibeli dan lain-lain. Sangat ironis jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa pada hari ini terdapat wacana deaktivasi layanan RBT dilakukan sedangkan situs situs illegal download tetap saja eksis dan bajakan CD/VCD masih marak terjadi di pasar. Kami sangat mengkhawatirkan perkembangan musik Indonesia saat ini akan terpukul dan menimbulkan resiko fatal bilamana penanganan dan regulasi yang akan diterapkan kurang spesifik pada inti penyimpangannya.”
Pro dan kontra tentang Ringback Tone menuai debat terbuka antarmusisi sendiri. Antara mereka yang mendukung terus RBT dan mereka yang setuju jika misalnya RBT dihentikan. Mereka yang mendukung RBT jelas yang mendapat pemasukan dari layan-an 30 detik ini. Mereka yang menolak adalah musisi yang tidak bisa menikmati. Namun ada pula yang memiliki pemikiran bahwa dengan berkurangnya RBT, maka CD sebagai media yang masih diproduksi akan meningkat penjualannya.
Pembagian royalti di wilayah musik saat ini sedang mengalami persoalan. Beberapa musisi dunia mulai mengajukan tuntutan kepada pihak label berkaitan dengan pembagian royalti yang menurut mereka tidak sesuai aturan. Seperti Eminem bertarung dengan Interscope/Universal berkaitan dengan royalti yang diterima Eminem dari penjualan konten digital di iTunes.
Menurut Steve Knopper, kontributor Rolling Stone US dan penulis Music Biz yang menulis buku Appetite For Self Destruction (2009), dalam artikelnya berjudul The New Economics of the Music Industry mengatakan, ”Di masa lalu jauh lebih mudah untuk menjadi bintang pop dan bersaing dengan berapa banyak mereka dibayar. Seseorang akan membeli CD di Tower Records sebesar $15 dan beberapa dolar akan muncul bulan kemudian pada lembaran royalti bintang tersebut. Kemudian iTunes dari Apple mengambil alih bisnis rekaman, dan itu lebih mudah (jika tidak lebih menguntungkan) - setiap kali seseorang membeli lagu 99-sen, beberapa sen masuk ke rekening bank artis. Hari ini, penggemar musik memainkan video musik gratis di YouTube, lagu streaming gratis di Spotify, Mog atau Rdio, stasiun radio Internet menyesuaikan pada Pandora atau Slacker dan mengkonsumsi musik miliaran dengan cara yang berbeda. Pecahan royalti dana untuk seniman membuat masing-masing layanan ini hampir mustahil untuk dilacak - setidaknya untuk saat ini. “Orang menyederhanakan ini dan berkata, ‘Tidak ada uang di dalamnya,’” kata Jeff Harga, pendiri TuneCore, yang menangani banyak musisi untuk menempatkan lagu mereka langsung ke iTunes, Spotify dan lain-lain. “Tapi itu kompleks, rumit dan masih dikerjakan.”
Kamis malam 10 November 2011 di jejaring Twitter berlangsung diskusi menarik tentang musik digital. Mulanya Indra Q, pemain keyboard dari BIP yang pernah memperkuat Slank dan sekarang sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai sound engineer andal untuk mixing dan mastering album-album band Indonesia, melemparkan wacana tentang perusahaan rekaman yang mau menghentikan produksi CD karena dianggap sudah tidak bisa dijual lagi.
Percakapan di micro blog itu berlanjut soal bagaimana masa depan berikutnya musik digital di Indonesia? Apakah RBT juga akan segera tamat? Triawan Munaf, praktisi iklan yang juga ayah dari Sherina dan pernah memperkuat band Giant Steps, kemudian berbagi cerita tentang bagaimana susahnya membeli lagu, aplikasi, dan film di iTunes/App Store di Indonesia. Karena akses membeli lagu, aplikasi, film di iTunes negara seperti Inggris atau Amerika yang memiliki koleksi lengkap tidak bisa dilakukan di Indonesia dengan memakai kartu kredit.
Sementara gift card iTunes susah ditemukan di Indonesia. Bayangkan jika iTunes/App Store Indonesia dipenuhi oleh musik Indonesia dari era baru dan era sekarang. Video klip dulu dan video klip sekarang. Serta pertunjukan live atau film Indonesia yang mudah dibeli dengan memakai voucher iTunes Indonesia yang mudah didapatkan dimana-mana atau lewat kartu kredit. Harus diakui bahwa iTunes dan Apple memiliki pesona berbeda jika dibandingkan dengan layanan konten lain yang menjual musik digital. iTunes dan ragam produk Apple menjadi bentuk bentuk ”budaya” tersendiri yang memiliki banyak penggemar militan.
Dalam kasus ini, Mathew Danile, vice president sebuah distributor musik digital di Cina memiliki pemikiran menarik. Menurutnya, apa yang terjadi di Asia, termasuk Indonesia, adalah ”Music Apartheid”. Penikmat musik di Asia tidak diberi hak yang sama untuk menikmati musik digital. Berbagai gadget mutakhir dirilis tiap hari. Namun akses membeli musik secara legal lewat Amazon dan iTunes tidak bisa diakses di Asia. Padahal penjualan iPod dan MP3 player sangat tinggi di kawasan Asia. ”Ke mana konsumen mengisi lagu-lagu untuk iPod dan MP3 Player mereka? Sudah pasti akan mencari di Internet. Mengunduh lagu-lagu tanpa harus membayar!” Walau beberapa telco telah berusaha membuat teroboson dengan mendirikan portal yang menjual musik secara legal, seperti LangitMusik dan Melon.
Dody Is dari Kahitna lewat akun Twitter-nya sempat melempar pernyataan menarik saat berdiskusi dengan Indra Q dan Triawan Munaf. ”Masyarakat kita termasuk musisinya tampaknya belum siap dengan industri musik digital. Hanya lingkaran kecil. Kalau musisinya kompak dan tidak gampang diadu domba, percaya kalau tatanan musik industri yang baru akan lahir, di mana lebih memperhatikan semua.”
Beberapa pihak seperti perusahaan rekaman dan beberapa artisnya meradang! Mereka langsung menggelar jumpa pers dengan membuat gerakan Selamatkan Musik Indonesia #SaveRBT. Bertempat di Hard Rock Cafe, EX Plaza, Jakarta Pusat (17/10/2011), mereka meminta agar pemerintah tidak memberhentikan la-yanan RBT meskipun hanya sementara.
Menurut para pelaku industri musik, penonaktifan RBT tersebut membawa dampak berkurangnya pendapatan musisi atau pencipta lagu. Kepada Rolling Stone Indonesia beberapa musisi berkomentar, “RBT itu bukan hal yang haram. Kami berharap adanya keadilan. Memang katanya untuk menyelamatkan bagian masyarakat lain. Tapi itu tak ada kaitannya dengan RBT,” ujar vokalis band Ungu, Pasha. “Kalau mau ditutup saya mau teriak. Jangan cuma kita diminta bayar pajak. Masa sih nggak adil,” tandas Maia Estianty. “Masih banyak hal untuk dibahas dan diberantas,” jelas keyboardist band Kerispatih, Badai.
Namun lewat akun Twitter pribadinya, Menteri Kominfo Tifatul Sembiring langsung memberi bantahan soal penutupan RBT tersebut. Malah dirinya berjanji akan meneruskan layanan RBT yang baik dan benar. Berikut lima hal yang disampaikan Tifatul Sembiring yang ditulis tanpa edit:
1. Saya tegaskan TIDAK ADA penghapusan layanan RBT. Tapi semua pelanggan YG MAU RBT harus register ulang. Yang TIDAK MAU, tdk boleh dipaksa.
2. Jadi sistem POTONG PULSA otomatis ditiadakan. Sebab pengguna hp tidak tahu mengapa pulsanya dipotong. Hrs ditawarkan ulang mrk mau/tidak
3. Bagi penyedia jasa RBT yg baik2, tentu dibutuhkan pengguna hp dan mrk akan daftar ulang dg KESADARAN. Jadi hal ini seperti reset ulang sj.
4. Semua cp harus memudahkan proses UNREG, dan pelanggan hrs mengerti betul semua resikonya jika melakukan REG.
5. Pemotongan pulsa tanpa seizin/sepengetahuan pemilik hp adalah PENCURIAN, akan sgr diusut pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum.
Jika melihat penjelasan dari Tifatul Sembiring di atas, persoalan penertiban tentang layanan konten SMS Premium tersebut jelas menguntungkan konsumen.
Mafia SMS Premium yang menyedot pulsa pelanggan menjadi persoalan serius ketika proses pencurian pulsa ini berlangsung secara massal. Bayangkan berapa juta penduduk Indonesia yang terkena korban akibat pulsa mereka menguap begitu saja.
Dalam siaran pers, pihak label yang tergabung dalam ASIRI menulis: “RBT sebagai penyelamat musik Indonesia karena inovasi teknologi layanan ini yang tidak dapat dibajak, dapat dinikmati oleh konsumen, harganya terjangkau, mudah dibeli dan lain-lain. Sangat ironis jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa pada hari ini terdapat wacana deaktivasi layanan RBT dilakukan sedangkan situs situs illegal download tetap saja eksis dan bajakan CD/VCD masih marak terjadi di pasar. Kami sangat mengkhawatirkan perkembangan musik Indonesia saat ini akan terpukul dan menimbulkan resiko fatal bilamana penanganan dan regulasi yang akan diterapkan kurang spesifik pada inti penyimpangannya.”
Pro dan kontra tentang Ringback Tone menuai debat terbuka antarmusisi sendiri. Antara mereka yang mendukung terus RBT dan mereka yang setuju jika misalnya RBT dihentikan. Mereka yang mendukung RBT jelas yang mendapat pemasukan dari layan-an 30 detik ini. Mereka yang menolak adalah musisi yang tidak bisa menikmati. Namun ada pula yang memiliki pemikiran bahwa dengan berkurangnya RBT, maka CD sebagai media yang masih diproduksi akan meningkat penjualannya.
Pembagian royalti di wilayah musik saat ini sedang mengalami persoalan. Beberapa musisi dunia mulai mengajukan tuntutan kepada pihak label berkaitan dengan pembagian royalti yang menurut mereka tidak sesuai aturan. Seperti Eminem bertarung dengan Interscope/Universal berkaitan dengan royalti yang diterima Eminem dari penjualan konten digital di iTunes.
Menurut Steve Knopper, kontributor Rolling Stone US dan penulis Music Biz yang menulis buku Appetite For Self Destruction (2009), dalam artikelnya berjudul The New Economics of the Music Industry mengatakan, ”Di masa lalu jauh lebih mudah untuk menjadi bintang pop dan bersaing dengan berapa banyak mereka dibayar. Seseorang akan membeli CD di Tower Records sebesar $15 dan beberapa dolar akan muncul bulan kemudian pada lembaran royalti bintang tersebut. Kemudian iTunes dari Apple mengambil alih bisnis rekaman, dan itu lebih mudah (jika tidak lebih menguntungkan) - setiap kali seseorang membeli lagu 99-sen, beberapa sen masuk ke rekening bank artis. Hari ini, penggemar musik memainkan video musik gratis di YouTube, lagu streaming gratis di Spotify, Mog atau Rdio, stasiun radio Internet menyesuaikan pada Pandora atau Slacker dan mengkonsumsi musik miliaran dengan cara yang berbeda. Pecahan royalti dana untuk seniman membuat masing-masing layanan ini hampir mustahil untuk dilacak - setidaknya untuk saat ini. “Orang menyederhanakan ini dan berkata, ‘Tidak ada uang di dalamnya,’” kata Jeff Harga, pendiri TuneCore, yang menangani banyak musisi untuk menempatkan lagu mereka langsung ke iTunes, Spotify dan lain-lain. “Tapi itu kompleks, rumit dan masih dikerjakan.”
Kamis malam 10 November 2011 di jejaring Twitter berlangsung diskusi menarik tentang musik digital. Mulanya Indra Q, pemain keyboard dari BIP yang pernah memperkuat Slank dan sekarang sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai sound engineer andal untuk mixing dan mastering album-album band Indonesia, melemparkan wacana tentang perusahaan rekaman yang mau menghentikan produksi CD karena dianggap sudah tidak bisa dijual lagi.
Percakapan di micro blog itu berlanjut soal bagaimana masa depan berikutnya musik digital di Indonesia? Apakah RBT juga akan segera tamat? Triawan Munaf, praktisi iklan yang juga ayah dari Sherina dan pernah memperkuat band Giant Steps, kemudian berbagi cerita tentang bagaimana susahnya membeli lagu, aplikasi, dan film di iTunes/App Store di Indonesia. Karena akses membeli lagu, aplikasi, film di iTunes negara seperti Inggris atau Amerika yang memiliki koleksi lengkap tidak bisa dilakukan di Indonesia dengan memakai kartu kredit.
Sementara gift card iTunes susah ditemukan di Indonesia. Bayangkan jika iTunes/App Store Indonesia dipenuhi oleh musik Indonesia dari era baru dan era sekarang. Video klip dulu dan video klip sekarang. Serta pertunjukan live atau film Indonesia yang mudah dibeli dengan memakai voucher iTunes Indonesia yang mudah didapatkan dimana-mana atau lewat kartu kredit. Harus diakui bahwa iTunes dan Apple memiliki pesona berbeda jika dibandingkan dengan layanan konten lain yang menjual musik digital. iTunes dan ragam produk Apple menjadi bentuk bentuk ”budaya” tersendiri yang memiliki banyak penggemar militan.
Dalam kasus ini, Mathew Danile, vice president sebuah distributor musik digital di Cina memiliki pemikiran menarik. Menurutnya, apa yang terjadi di Asia, termasuk Indonesia, adalah ”Music Apartheid”. Penikmat musik di Asia tidak diberi hak yang sama untuk menikmati musik digital. Berbagai gadget mutakhir dirilis tiap hari. Namun akses membeli musik secara legal lewat Amazon dan iTunes tidak bisa diakses di Asia. Padahal penjualan iPod dan MP3 player sangat tinggi di kawasan Asia. ”Ke mana konsumen mengisi lagu-lagu untuk iPod dan MP3 Player mereka? Sudah pasti akan mencari di Internet. Mengunduh lagu-lagu tanpa harus membayar!” Walau beberapa telco telah berusaha membuat teroboson dengan mendirikan portal yang menjual musik secara legal, seperti LangitMusik dan Melon.
Dody Is dari Kahitna lewat akun Twitter-nya sempat melempar pernyataan menarik saat berdiskusi dengan Indra Q dan Triawan Munaf. ”Masyarakat kita termasuk musisinya tampaknya belum siap dengan industri musik digital. Hanya lingkaran kecil. Kalau musisinya kompak dan tidak gampang diadu domba, percaya kalau tatanan musik industri yang baru akan lahir, di mana lebih memperhatikan semua.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Orang BODOH, GOBLOK, IDIOT, cuma bisa baca, ga pake komentar !!